Isu mengenai anjing sebagai hewan yang dianggap najis sering kali menjadi perdebatan di tengah masyarakat, terutama di kalangan Muslim. Namun, pertanyaannya: benarkah anjing itu najis? Apakah ada dalil atau ayat yang secara tegas menyatakannya?
Meninjau Kitab-Kitab Suci
Jika kita kembali pada kitab-kitab suci — baik Al-Qur'an, Injil, maupun Taurat — tidak ditemukan satu pun ayat yang menyatakan secara eksplisit bahwa anjing adalah hewan najis. Bahkan dalam Al-Qur'an sendiri, tidak ada satu ayat pun yang menegaskan bahwa anjing itu haram atau najis secara zat (dzat-nya).
Lalu, bagaimana dengan air liurnya? Banyak yang mengatakan bahwa air liur anjing najis dan harus disucikan jika terkena sesuatu. Namun lagi-lagi, ini bukan berasal dari ayat Al-Qur'an, melainkan dari hadits dan interpretasi para ulama dalam konteks fiqih tertentu, khususnya terkait kebersihan dan kesucian dalam ibadah.
Perumpamaan dalam Al-Qur’an
Dalam Surat Al-A’raf 7 ayat 176, Allah SWT berfirman:
“Dan sekiranya Kami menghendaki niscaya Kami tinggikan (derajat)nya dengan (ayat-ayat) itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan mengikuti keinginannya (yang rendah), maka perumpamaannya seperti anjing, jika kamu menghalaunya dijulurkan lidahnya dan jika kamu membiarkannya ia menjulurkan lidahnya (juga). Demikianlah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah kisah-kisah itu agar mereka berpikir.”
Ayat ini tidak sedang membahas sosok anjing sebagai najis. Melainkan, Allah SWT memberikan perumpamaan tentang sifat manusia yang lebih memilih dunia dan mengabaikan petunjuk-Nya. Manusia seperti itu diibaratkan seperti anjing yang menjulurkan lidah, apapun yang terjadi. Bahkan di akhir ayat tersebut, Allah SWT menegaskan bahwa itulah perumpamaan bagi orang-orang yang mendustakan ayat-ayat-Nya. Maksudnya, ada orang yang sudah diberi penjelasan tentang kebenaran ayat-ayat Allah, tapi tetap saja menolak, mengabaikan, bahkan meremehkannya.
Perilaku seperti itu digambarkan seperti anjing yang terus-menerus menjulurkan lidah — mau diberi tahu atau tidak, tetap saja sama. Artinya, orang-orang seperti ini sudah tidak lagi peduli pada kebenaran. Sekalipun mereka tampak mendengarkan atau mengangguk-angguk seolah setuju, pada dasarnya mereka tidak sungguh-sungguh menerima atau memahami isi Al-Qur’an.
Dengan kata lain, yang dimaksud sebagai “najis” bukanlah wujud fisik anjing, tetapi sifat buruk yang ditunjukkan manusia yang menolak kebenaran.
Perumpamaan dalam Kitab Injil
Perumpamaan yang serupa juga muncul dalam Injil Matius 7:6, yang berbunyi:
“Jangan kamu memberikan barang yang kudus kepada anjing dan jangan kamu melemparkan mutiaramu ke babi, supaya jangan diinjak-injaknya dengan kakinya, lalu ia berbalik mengoyak kamu.”
Ayat ini pun tidak dimaksudkan untuk menyebut anjing atau babi secara fisik sebagai makhluk rendah atau najis. Perumpamaan ini digunakan untuk menggambarkan sikap atau sifat manusia yang tidak menghargai sesuatu yang bernilai tinggi yaitu pemahaman kebenaran dalam kitab suci— seperti mutiara — karena tidak mau atau menolak memahami nilainya.
Menarik untuk direnungkan bahwa setiap makhluk diciptakan oleh Allah SWT dengan tujuan dan hikmahnya masing-masing. Lalu, pantaskah manusia menajiskan ciptaan Allah tanpa dasar yang jelas? Apakah tepat jika menjadikan anjing sebagai bahan hinaan atau ejekan, padahal anjing tidak bersalah dalam sifat atau tindakannya?
Kesimpulan
Dari paparan di atas, tampak jelas bahwa penyebutan "najis" dalam konteks anjing atau babi dalam Al-Qur'an dan kitab suci lainnya lebih ditujukan kepada sifat dan perilaku manusia — bukan kepada hewan itu sendiri.
Penjelasan najis yang sesungguhnya ada Dalam Surat At-Taubah 9 ayat 28:
"Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis (kotor jiwa)"
Dari ayat diatas menjelaskan bahwa najis itu adalah kotor jiwa dan orang-orang yang musyrik adalah orang yang kotor jiwa (musrik) sehingga ketika diberikan sebuah pemahaman tentang kebenaran maka mereka cenderung menolak kebenaran tersebut. layaknya perumpamaan injil diatas, sebuah pemahaman kebenaran dalam kitab suci setau yang berharga (seperti mutiara) tidak akan bisa diberikan kepada mereka yang masih kotor jiwa (najis)
Anjing tidak disebut najis karena bentuk atau zatnya, tetapi karena dalam perumpamaan, sifat tertentu disamakan dengan perilaku anjing yang terus menjulurkan lidah, tidak peduli situasi. Maka yang perlu dikritisi bukanlah sosok hewannya, tetapi bagaimana manusia berperilaku dan bersikap layaknya seekor anjing yang diberikan pemahaman kitab suci yang benar namun tetap menjulurkan lidahnya (menolak pemahaman tersebut).
0 Comments