Ticker

6/recent/ticker-posts

Fungsi Agama Dalam Kehidupan Bermasyarakat


Memang dalam kenyataannya, agama adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan bermasyarakat, karena setiap individu manusia sudah sewajarnya memiliki keyakinan dan kepercayaan (agama) mereka masing-masing, dan hak tersebut diatur dalam undang-undang di Indonesia, dan sesuatu yang aneh dan mengherankan, apabila seseorang mengatakan dirinya tidak memiliki agama, karena pada dasarnya, semua manusia yang sadar dirinya adalah makhluk dari sang pencipta, sudah sepantasnya meyakini bahwa diatas dirinya ada kuasa lain, yaitu, kuasa sang pencipta, Tuhan Semesta Alam.


Walaupun begitu, kita pun sering mendengar tentang paham yang tidak menyakini keberadaan Tuhan (Atheisme) atau lawan dari kepercayaan yang meyakini keberadaan Tuhan (agama), padahal hal tersebut lebih sulit dibuktikan dalam kacamata 'sains' atau ilmu pengetahuan, baik melalui penelitian-penelitian maupun kajian-kajian secara teoritis, dari pada membuktikan bahwa ada Tuhan di tengah-tengah kita, karena bagaimanapun, filosofi yang di klaim berasal dari Yunani kuno tersebut sangatlah sulit dibuktikan kebenarannya, dalam hal membuktikan bahwa alam semesta beserta isinya, tercipta dengan sendirinya.


Maka, apa sebetulnya fungsi dari agama ? Fungsi agama diyakini sebagai cara manusia untuk mendekatkan dirinya kepada Tuhan, sehingga pribadi-pribadi yang meyakini agama tertentu tersebut, menjadi sadar bahwa dirinya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kebesaran Tuhan, sang pencipta, sehingga, ada kewajiban yang mengharuskan mereka melakukan ritual-ritual maupun pengkultusan terhadap utusan-utusan yang dipercaya sebagai utusan Tuhan dalam agama mereka masing-masing, baik berupa nyanyian, shalawat (bagi umat Islam), dll.


Seperti itulah fungsi dari agama dalam kehidupan bermasyarakat, dan hal aneh jika ada seseorang yang tidak melakukan kewajibannya yaitu melakukan penyembahan (ritual) kepada sang pencipta dirinya, dan orang-orang yang tidak melakukan hal tersebut dianggap sebagai seseorang yang tidak mensyukuri nikmat yang Tuhan berikan, berupa kehidupan dan kesehatan yang diberikan Tuhan kepada manusia.


Bagi kita yang mau berfikir, apakah para Nabi dan Rasulnya (utusanNya) hanya mengajarkan tentang ritualisme saja ? Ataukah mereka membawa sesuatu yang lebih luas dari hanya sekedar ritualisme ? Maka, apa kaitannya agama dengan misi Khilafah yang dibawa setiap para Nabi dan Rasul, mulai dari Nabi Adam as sampai dengan Nabi Muhammad saw ?


Faktanya, setiap Nabi dan Rasul membawa konsep Khilafah atau berkaitan dengan politik, masalah ritual yang diajarkan para Nabi dan Rasul adalah bagian kecil dari ajaran yang sebenarnya yang mereka usung, hal itu adalah bentuk 'ceremony' akan kemenangan para Nabi dan Rasul dalam memperjuangkan Khilafah (Kerajaan;Kekuasaan), sehingga, ritual tersebut difungsikan sebagai pengingat perjuangan mereka.


Namun, apakah dalam kondisi sekarang sudah tepat jika dikatakan bahwa hukum Tuhan berada diatas hukum bangsa-bangsa ? Hal tersebut lah sebetulnya merupakan tujuan dari Khilafah itu sendiri. Sehingga, pantaskah kita 'euforia' atau senang berlebihan tanpa alasan, jika kita tau bahwa kondisi umat beragama saat ini, tidak memiliki kekuasaan dalam hal memberlakukan hukum Tuhan yang diajarkan dalam Kitab Suci ?


Jadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa fungsi agama dalam kehidupan masyarakat saat ini, masih merupakan sesuatu yang belum mencakup keseluruhan dari misi para utusan Tuhan, sehingga diperlukan kajian-kajian yang mendalam tentang apa sebetulnya yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul, apakah hanya sebatas agama ataukah tentang politik atau kekuasaan ?


Sebetulnya, bagi kita mau memahami Kitab Suci, maka kita akan menjadi paham, bahwa yang dibawa oleh para utusan Tuhan tersebut adalah tentang kekuasaan Tuhan yang berlaku di bumi, bukan hanya menyangkut tentang agama, dimana, dalam ajaran Islam menyebut hal tersebut dengan sebutan Khilafah atau Darusalam, sedangkan dalam ajaran Nasrani maupun Yahudi menyebut Kerajaan Allah atau kerajaan dibumi seperti halnya di sorga (surga), yang digambarkan dengan istilah Yerusalem.


Baiklah, mari kita telaah lebih jauh mengenai pemisahan agama dengan politik (Khilafah) dalam beberapa kajian yang dijelaskan dibawah ini !


Pemisahan Agama Dengan Politik


Dalam kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI) menulis, agama adalah ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dengan manusia serta lingkungannya. Maka, merujuk dari pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa semua agama termasuk Islam, adalah sama dan sederajat. Sehingga, para pemeluknya harus lah saling menghormati dan toleran satu sama lain. Inilah pandangan mayoritas umat beragama saat ini tentang agama, mereka melihatnya bahwa agama hanyalah mengurusi persoalan keimanan dan peribadatan. Kalaupun berbicara soal hubungan antar sesama manusia, itu hanya sebatas persoalan moral dan dalam ajaran Islam menyebutnya dengan 'muamalah' (hubungan sosial) di bidang umum, seperti berbuat baik kepada sesama manusia dan urusan mengenai halal dan haram, yang mana, di Indonesia, hal tersebut diatur oleh aturan MUI.


Bahkan dalam sebuah negara sekuler, agama bukanlah termasuk urusan negara, artinya, sudah sangat jelas bahwa dalam kehidupan masyarakat dunia, terjadi pemisahan antara politik dan agama, dan dari ciri ciri tersebut kemudian para ahli membagi agama menjadi agama Bumi dan agama Langit (Samawi) atau terkadang disebut juga dengan agama wahyu. Islam dikatagorikan sebagai agama samawi, sama halnya dengan agama Yahudi dan Krusten, yang di klaim menginduk pada ajaran Nabi Abraham (Ibrahim as).


Itulah sebabnya, kelompok sekuler dan pluralistik yang menganut paham pluralisme memposisikan 'Dinul Islam' maupun agama-agama (keyakinan;kepercayaan) lainnya sebagai wadah atau cara manusia berhubungan dengan Tuhan, dan hal tersebut tidak ada kaitannya dengan kekuasaan (politik) atau Khilafah.


Padahal secara historis maupun secara biologis, 'Dinul Islam' yang dikatakan sebagai keyakinan terhadap sang pencipta tersebut bukan hanya ditujukan untuk umat Islam, di dalam Al Qur'an menyebutkan pemeluk 'Dinul Islam' bukan hanya Nabi Muhammad saw, tapi juga para Nabi lainnya, mereka semua memeluk 'Dinul Islam', termasuk diantaranya, Nabi Musa as dan Nabi Yesus (Isa as), yang merupakan sesuatu yang murni ciptaan Allah, sedangkan agama-agama, baik disebut agama bumi maupun agama-agama samawi adalah hasil dari ciptaan dan campur tangan manusia, dikarenakan secara historis, agama ada setelah keruntuhan kekuasaan Tuhan dimuka bumi, yang berbentuk Khilafah atau KerajaanNya, sehingga, jika kita menilik dari sejarah para utusan Tuhan yang datang untuk menyempurnakan akhlak, dan menegakkan hukum Tuhan, maka, kurang tepat jika 'Dinul Islam' yang dikatakan dalam Al Qur'an sebagai keharusan bagi para utusan Tuhan untuk ditegakkan, baik disaat Nabi Nuh as sampai dengan Nabi Muhammad saw QS. 42:13) dan seperti kita ketahui bahwa ajaran dari Kitab Suci yang diyakini oleh umat Nasrani, Yahudi, dan Islam, adalah bagian dari ajaran yang diajarkan Nabi Abraham (Ibrahim as) kepada keturunannya, baik itu dari Bani Israel, yaitu Nabi Musa as dan Nabi Yesus (Isa as), maupun Nabi Muhammad saw yang berasal dari keturunan Ismail, yang dikatakan dalam Al Qur'an bahwa mereka adalah muslim atau menganut kepercayaan Islam, seperti diterangkan pada surat di bawah ini.


Al Qur'an surat Al Baqarah [2] ayat 132 :

Dan Ibrahim mewasiatkan (ucapan) itu kepada anak-anaknya, demikian pula Yakub. "Wahai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini untukmu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan Muslim."


Maka, sejatinya, 'Dinul Islam' kurang tepat jika dimaknai atau disamakan dengan agama-agama yang muncul setelah kedatangan para utusan Tuhan atau setelah Khilafah sudah dalam kondisi tidak bisa memberlakukan hukum Tuhan diatas segala hukum bangsa-bangsa, hal itu adalah wajar, karena jika kekuasaan yang diusung oleh para pemuka agama maupun pemeluk agama, maka akan terjadi gesekan di dalam suatu negara.


Merujuk pada Kitab Al Quran sendiri, sangat jelas dan tegas bahwa 'Dinul Islam' adalah sesuatu sistem yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, bukan hanya sebatas masalah keyakinan dan peribadatan atau ibadah ritual semata. 'Dinul Islam' mengatur segala sendi kehidupan manusia, mulai dari masalah moralitas (akhlak) maupun hukum, hingga persoalan politik, sosial, budaya dan ekonomi. Sehingga, apabila makna 'Dinul Islam' dipersempit menjadi hanya sebatas agama (ritual) berarti mengubah esensi dan fungsi dari 'Din Allah' atau 'Din' ciptaan Tuhan, Allah SWT itu sendiri. Akibatnya, manusia akan berfikir sekuler, memisahkan persoalan hubungan manusia dengan Allah SWT dengan persoalan hubungan manusia dengan manusia lainnya (social-politik)


Seperti itulah kondisi saat ini, terjadi pemisahan antara agama dengan politik, padahal, sejatinya, semua Kitab Suci mengajarkan Hukum Tuhan diberlakukan kepada seluruh manusia, pertanyaannya, bagaimana hukum Tuhan bisa diberlakukan jika tidak ada sebuah naungan atau payung atau tempat untuk memberlakukan hukum Tuhan tersebut, yang disebut dalam Al Qur'an sebagai Khilafah (Darussalam), sedangkan dalam Al Kitab, baik itu Kitab Perjanjian Lama (Taurat) maupun Kitab Perjanjian Baru (Injil) menyebut wadah tersebut sebagai Kerajaan Allah (Yerusalem) ?


Maka, untuk itu, sudah sepantasnya kita sebagai umat beragama yang meyakini Kitab Suci yang bersumber dari Nabi Abraham (Ibrahim as) menjadi sadar akan kondisi saat ini, bahwa manusia sudah menggantikan peran Tuhan dalam mengatur manusia, hal tersebut dibuktikan dengan pemisahan agama dan politik (kekuasaan) yang terjadi saat ini.


Post a Comment

0 Comments