Ticker

6/recent/ticker-posts

IMAN DAN SEMAK BELUKAR



Seorang petani membawa bibit-bibit yang baik untuk disemai.

Ketika melakukan penyemaian, ada beberapa yang jatuh ke pinggir jalan. Kemudian burung-burung yang lapar datang untuk memakannya dengan lahap.

Beberapa tercecer di bebatuan yang mengandung sedikit tanah. Karena ada sedikit tanah, benih itupun segera tumbuh menjadi tunas, tetapi ia belum memiliki akar yang kokoh. Dan ketika matahari terbit dengan terik menyinari bibit yang baru tumbuh itu, maka tunas itu segera layu dan tak lama ia pun mati.

Bibit-bibit itu ada pula yang jatuh di rerimbunan semak belukar yang berduri. Bibit itu bisa tumbuh menjadi pohon kecil diiringi oleh semak belukar yang juga tumbuh jauh lebih besar. Kemudian Semak belukar yang semakin besar itu menjepit pohon yang kecil itu hingga tidak mendapatkan ruang untuk hidup, alias mati.

Kemudian ada pula bibit-bibit yang jatuh di tanah yang baik. Maka bibit-bibit itu segera tumbuh menjadi pohon-pohon yang besar, memiliki akar yang kuat sebagai pijakannya, terus tinggi besar hingga dapat menghasilkan buah yang banyak dan enak dimakan oleh makhluk lainnya.

Orang yang memiliki niat untuk beriman kepada Tuhan tetapi tidak juga memahami bagaimana cara beriman -disebabkan masih menggantungkan kecintaannya kepada selain Tuhan, akan mudah terpengaruh oleh bujukan orang-orang yang sesungguhnya tidak menyukai Tuhan untuk menjadi satu-satunya pengatur hidup manusia. Dalam benaknya tidak bisa merangkai apa tujuannya diciptakan alam semesta ini, sebagai apa perannya dalam kehidupan, apa status dirinya terhadap makro sistim ini. Ia akan mengikuti rayuan orang-orang yang senantiasa mengajak untuk mengacuhkan Tuhan. Kecintaan yang bisa menjadi penghalang itu dapat berupa ambisi untuk memiliki materi-kekayaan, kedudukan-kehormatan, dan kepuasan sexual. Itulah bibit-bibit terjatuh dipingir jalan yang dimakan oleh burung-burung lapar.

Ada pula orang yang sudah mulai memahami cara beriman, dan siap untuk menerima dalam hatinya. Tetapi usaha itu disandarkan kepada kecintaan selain Tuhan, berlaku pamrih terhadap apa yang diperbuat. Berdoa untuk mendapat solusi dari masalah pribadi, beramal untuk mendapatkan materi yang berlipat-lipat, ke tempat ibadah agar dihitung sebagai orang alim, maka ia tidak memiliki akar bagi masuknya iman dalam dirinya.

Ketika mengalami sebuah penindasan, penganiayaan, atau ancaman terhadap apa yang ingin diimaninya, dengan mudah niat yang besar itu menjadi luntur karenanya. Lebih baik menjilat ludah sendiri daripada tetap teguh pada tekad untuk beriman. Itulah bibit yang tercecer di bebatuan yang diantaranya terdapat tanah yang sedikit.

Berikutnya ada orang yang mulai memasuki keimanan kepada Tuhan, mulai melihat titik cerah dalam usahanya untuk menjadikan Tuhan sebagai sandaran utama. Tetapi ia tidak mensucikan konsep berfikir dari ajaran-ajaran lama materialistik yang meracuni kesadarannya. Sehingga dikala kekuatiran akan jaminan hidup di dunia menghantuinya, dikala kegentingan taraf hidup dirasa menghimpitnya, maka iman yang baru sedikit dalam hatinya itu tidak dapat berkembang, dan ia akan hilang dari kesadarannya.

Ironisnya orang itu bisa menjadi serigala berbulu domba, menipu orang yang melihatnya dengan kulit agamis. Ini disebabkan ia membiarkan ajaran lama yang membimbing untuk menggapai materi sebagai kesempurnaan hidup bercokol dalam hatinya. Itu makna dari bibit yang tumbuh dan dihimpit oleh semak belukar.

Sedangkan orang-orang yang membuka kesadarannya, dan menyambut pemahaman akan Firman Tuhan dengan besar hati, bahwa hanya Tuhan yang layak untuk diabdi, hanya Tuhan yang berhak untuk mengatur segala sesuatu termasuk kehidupan manusia, bahwa Tuhan yang menentukan hidup matinya manusia, maka Tuhan akan masuk ke dalam kesadarannya dengan menjelma menjadi sebuah kekuatan yang multidimensi.

Ia tidak akan mengantuk ketika menggalinya, ia tidak akan lapar untuk menekuninya, ia akan terhindar dari ancaman penyakit yang sedang merebak, ia akan mendapat perlindungan dari Tuhan sebagai penjamin kehidupan bagi segala makhluk. Ia akan seperti bibit yang baik jatuh ke tanah yang baik. Maka ia akan menghasilkan buah yang baik.

Sebagai majikan, Tuhan pasti akan melindungi manusia yang ingin mengimani Firman Nya. Segala apa yang diperoleh orang itu akan dianggap sebagai sarana, bukan tujuan. Ia tidak akan bangga ketika mendapat materi, karena prinsip kepemilikan bukan lah ajaran Tuhan, tapi itu semua adalah amanah yang Tuhan titipkan kepada manusia.

Ketika prinsip amanah yang menjadi acuan dalam mengarungi hidup ini, manusia tidak akan sombong terhadap lainnya. Manusia akan perduli terhadap saudaranya yang kelaparan, tidak bisa menutup mata melihat saudara-saudara perempuannya yang hamil tanpa dukungan gizi yang cukup, tidak tinggal diam melihat anak saudaranya yang tidak bersekolah, tidak bisa istirahat ketika mengetahui saudaranya terlilit hutang-piutang yang membebaninya. Ia akan bersegera untuk mengeluarkan apa yang dimiliki bagi saudaranya yang membutuhkan, tanpa pamrih apapun.

Iman bisa datang dan bisa pergi. Semua tergantung dari sikap manusia itu sendiri. Iman kepada Nya bukan berarti hanya percaya, tetapi ia adalah sebuah kepahaman akan kesejatian perintah Nya dan berkembang menjadi komitmen untuk mewujudkan hal-hal yang diramalkan dalam kehidupan manusia.

Bukan sekedar ritus, bukan sebatas menyebut, tetapi ia harus menjadi sebuah paket yang tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan manusia sebagai pekerja Nya, tanpa diiming-imingi oleh hal lain. Dan syarat untuk beriman itu adalah tidak menjadikan hal-hal lain sebagai sesuatu yang menyaingi Tuhan. Termasuk tidak bercita-cita untuk menggunakan aturan lain selain buatan Nya.

Bibit yang jatuh di jalan, di bebatuan, di semak belukar, atau di tanah yang baik? Itu adalah pilihan. Setiap pilihan akan membuahkan konsekuensi besar dalam hidup. Dan kita pasti akan diminta pertanggung jawaban terhadap pilihan yang diambil.

Post a Comment

0 Comments