Ticker

6/recent/ticker-posts

Fatwa Kiamat


Film 2012 karya Roland Emmerich menampilkan kehancuran dunia akibat bencana alam luar biasa, termasuk gempa dahsyat, tanah ambles, tsunami raksasa, dan bangunan yang runtuh seperti kartu domino. Film ini menggambarkan skenario kiamat yang dikaitkan dengan ramalan Suku Maya tentang 21 Desember 2012.

Setelah penayangannya, film ini menuai berbagai reaksi dari masyarakat, ahli geologi, dan tokoh agama. Sebagian menganggapnya sebagai hiburan dengan efek visual spektakuler, sementara yang lain menilai film ini menyesatkan karena dapat mempengaruhi pemahaman masyarakat tentang kiamat. Bahkan, muncul fatwa yang melarang penontonannya demi menjaga aqidah umat agar tidak terpengaruh oleh fantasi dalam film tersebut.

Namun, pelarangan ini menimbulkan perdebatan. Jika keyakinan masyarakat kuat, seharusnya mereka tidak mudah terpengaruh oleh fiksi. Larangan semacam ini justru menunjukkan kelemahan dalam membangun pemahaman yang kokoh. Selain itu, efektivitas fatwa ini pun dipertanyakan—seberapa banyak orang yang benar-benar mengikutinya? Alih-alih melarang, seharusnya ada upaya memberikan pemahaman yang lebih baik tentang konsep kiamat yang sesuai dengan keyakinan agama, bukan sekadar membatasi tontonan.

Kiamat berasal dari kata dalam bahasa arab yaitu Qooma, Yaqumu, Qiyaman, yang artinya berdiri atau tegak. Jika kata ini dikenakan kepada sebuah benda, maka kata itu berarti berdiri tegak-lurus terhadap bumi sebagai wadahnya. Namun dikala kata ini dikenakan kepada kata kerja atau sifat, maka artinya adalah “terjadi” atau “terwujud”. Maknanya dapat dilihat pada kata “An-aqiymuddien”, tegakkan hukum. Jika kita membuka kitab suci, akan ditemukan kata Yaumiddien yang artinya Hari Pembalasan atau Hari ditegakkannya hukum sebagai balasan atas perbuatan seseorang. Yaitu tegaknya hukum Sang Pencipta menjadi sebuah sistim hidup yang integral dalam dimensi di dunia, dan setelah kematian.

Ahli-ahli agama sering membahas arti Kiamat dalam dimensi yang kedua, yaitu tegaknya hukum Nya pada setelah kematian-setelah tibanya akhir zaman. Pemahaman ini tidak salah dan tidak diragukan, karena segala sesuatu ada batas akhirnya, ada kematiannya. Para nabi sering memperingatkan bahwa hari itu sudah dekat, hari kiamat sudah dekat. Jika hari kiamat hanya diartikan sebagai kehancuran alam semesta, mengapa sudah lebih dari 14 abad kehancuran alam semesta itu belum juga terjadi? Bukankah setiap utusan Nya adalah bibir Nya kepada umat manusia? Mengapa orang-orang yang diperingatkan pada zamannya tidak mengalami kehancuran yang dinubuatkan? Apakah itu berarti bahwa Ia berdusta? Jawabnya Tidak! Sang Maha Pencipta selalu berkata benar, tidak ada satu patah katapun yang bertujuan untuk menipu manusia.

Dimensi Kiamat yang dikisahkan dalam kitab-kitab suci memiliki dua aplikasi; yaitu kiamat di dunia, dan kiamat setelah akhir masa bagi alam semesta. Dimensi kiamat yang dibuktikan oleh para utusan adalah berlakunya hukum Nya di dunia tanpa melalaikan dimensi eskatologi (akhir zaman). Para utusan Nya berhasil memenangkan hukum Sang Maha Pengatur diatas segala hukum bangsa-bangsa.

Pada hari itu orang-orang yang dahulu menentang dan berusaha menjegal perjuangannya akan dibalas sesuai dengan hukum Sang Maha Pengatur (hari penghakiman). Karena menjegal perjuangan utusan Nya, berarti menjegal kemauan Nya. Menghina utusan Nya, berarti menghina Sang Maha Perkasa. Pasti Ia tidak akan tinggal diam dan akan membalas perilaku mereka yang berusaha menggagalkan rencana Sang Juragan untuk “turun” ke muka bumi melalui para utusan sebagai mandataris Nya.

Peristiwa ini diberitahukan kepada orang-orang yang mengimani kedatangan hari tegaknya hukum buatan Sang Maha Pengatur dengan bahasa hikmah; yaitu sebuah bahasa yang memiliki makna dibalik yang tersurat (implisit), disampaikan dengan menggunakan bahasa yang menceritakan fenomena alam semesta. Hebatnya bahasa hikmah ini adalah; apa yang disampaikan dalam makna implisit pasti terjadi, sebagaimana pernah datangnya hari tegaknya hukum pada era para utusan Nya dahulu.

Sedangkan hal yang dikupas dalam bahasa tersurat (eksplisit) juga akan terjadi sebagai sebuah gejolak alam yang terus berproses. Ini disebabkan dinamika alam adalah sebangun dengan dinamika psycho-sosial umat manusia, maka Ia mengambil jembatan bahasa benda-benda alam untuk berbicara kepada manusia yang menyamakan frekwensi kesadarannya sehingga dapat menangkap bahasa hikmah ini. Jauh lebih hebat lagi adalah, sikap orang-orang yang dikisahkan dalam kitab suci, baik yang mengimani bahasa hikmah maupun yang menentang, pasti akan kembali muncul. Tinggal kita berkaca, apakah melakoni kisah orang-orang yang mengimaninya, atau yang menentangnya.

Hampir semua orang percaya bahwa kiamat dalam makna kehancuran alam semesta akan terjadi pada saatnya, walaupun itu didapat dari kepiawaian sang pengkisah dengan sejumlah bumbu pemanis agar enak ditelan. Tetapi kiamat dalam makna bahasa hikmah yang akan ditolak dan ditentang oleh orang-orang yang takut kehilangan penguasaan kebendaannya. Jangan sampai ada sebuah hukum sistemik dapat merubah posisinya yang dirasa sudah ideal. Jangan sampai ada sebuah komunitas solid menjadi merasa benar dengan mengambil alih kekuasaan yang telah dikangkangi dengan susah payah. Karena kisah kiamat di dunia seperti itu -dalam benak mereka- hanya terjadi pada zaman para utusan. Padahal jika diteliti lebih dalam, peristiwa ketidak percayaan itu sudah berulang kali terjadi, dan kiamat yang dikabarkan pun telah berulangkali terjadi, sebagaimana yang dikisahkan dalam kitab-kitab suci.

Sungguh sayang jika masih terganggu oleh fantasi para seniman film yang sesungguhnya ingin memberikan kesadaran untuk introspeksi diri sebagai manusia yang belum siap dalam menyambut kedatangan kiamat dalam makna tersurat, apalagi yang tersirat.

Maka, wajarlah jika fatwa larangan menonton film bergenre kiamat seperti 2012 itu dikeluarkan. Baik dalam pemahaman eskatologi (akhir), apalagi pada kiamat psycho-sosial. Padahal kiamat di dunia itu telah berulangkali dan terus akan terjadi, sebagaimana pernah dilakoni oleh orang-orang yang mengimaninya dahulu.

Post a Comment

0 Comments