Ticker

6/recent/ticker-posts

Syarat Berdirinya Khilafah

 

Berbicara tentang Khilafah dalam kondisi saat ini seperti halnya memakan buah simalakama, memang dalam kenyataannya, sulit sekali gagasan tentang sistem Khilafah diberlakukan dalam kehidupan manusia, walaupun di tanah Arab sekalipun, yang merupakan peninggalan dari kejayaan Nabi Muhammad saw, tapi tetap saja, kerajaan yang berlaku di tanah Arab saat ini bukan lah Kerajaan seperti halnya Kerajaan atau Khilafah yang dibangun oleh Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya, dalam hal kekuasan yang menguasai dunia saat ini, bukan lah seperti di zaman para sahabat Nabi, atau kekuasaan mutlak, atau superpower, tidak berada di tangan Kerajaan Arab saat ini, Kerajaan Arab saat ini, hanyalah dikenal sebagai tempat untuk melaksanakan ibadah haji, bukan lagi tempat yang penuh kuasa dari Tuhan Semesta Alam untuk mengatur dan mengelola bangsa-bangsa, agar senantiasa tunduk kepada Hukum Tuhan Semesta Alam.

Dalam kondisi saat ini, sudah barang tentu kita mengetahui bahwa bukan di tangan negara Islam atau negara yang berpenduduk mayoritas Islam, yang memiliki kuasa penuh untuk mengatur bangsa-bangsa, atau sebutan yang lebih tepat adalah bukan negara Islam lah yang saat ini menguasai dunia, atau menjadi negara superpower. Hal tersebut adalah merupakan ketetapan Tuhan Semesta Alam, karena kekuasaan semata-mata datangnya dari Tuhan Semesta Alam, maka tidak selamanya sistem Khilafah yang dibawa Nabi Muhammad saw, kemudian diberlakukan di zaman para sahabat Nabi berlaku selamanya, seperti diterangkan pada ayat di bawah ini, bahwa terdapat pergiliran kekuasaan antara sistem yang mendatangkan kemuliaan dan sistem yang mendatangkan kehinaan bagi manusia.

Aali-Imran 3:26

قُلِ ٱللَّهُمَّ مَٰلِكَ ٱلْمُلْكِ تُؤْتِى ٱلْمُلْكَ مَن تَشَآءُ وَتَنزِعُ ٱلْمُلْكَ مِمَّن تَشَآءُ وَتُعِزُّ مَن تَشَآءُ وَتُذِلُّ مَن تَشَآءُۖ بِيَدِكَ ٱلْخَيْرُۖ إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ

Katakanlah (Muhammad), “Wahai Tuhan pemilik kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada siapa pun yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kekuasaan dari siapa pun yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa pun yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan siapa pun yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sungguh, Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.

Sehingga, bagi yang kita yang memahami betul, bahwa syarat berdirinya Khilafah adalah memiliki aturan yang harus ditegakkan (aturan atau Hukum Tuhan Semesta Alam), penegak-penegak Khilafah (Khalifah), state atau daulah dalam menjalankan sistem Khilafah, dan terakhir umat atau masyarakat yang tunduk patuh kepada sistem Khalifah tersebut, maka, seharusnya kita menjadi sadar dengan kondisi saat ini, bahwa Islam atau Khilafah yang dibawa oleh Nabi Muhamad saw, sudah tidak sama dengan sebelumnya atau ketika para sahabat Nabi berkuasa, kondisi sekarang adalah kondisi dimana hukum Tuhan Semesta Alam sedang berada di bawah hukum bangsa-bangsa atau hukum buatan manusia, atau istilah lebih ringkas adalah Islam sedang dalam kondisi runtuh, sehingga perlu ditegakkan, seperti halnya tugas orang-orang beriman adalah mendirikan atau menegakkan shalat, seperti itulah seharusnya dilakukan umat Islam saat ini, dalam shalat ada imam yang memimpin shalat, lambang dari pemimpin dalam Khilafah, dan ada jamaah atau umat yang mengikuti sistem Khilafah, dan dikatakan juga, setiap shaff atau barisan dalam melakukan shalat harus dalam kondisi rapat agar tidak diganggu oleh iblis atau setan, yang mana shaff tersebut merupakan simbol dari struktur dalam kekhalifahan (kepemimpinan) dalam Khilafah (kekuasaan;kerajaan), artinya, setiap penegak dalam Khilafah atau Kerajaan Tuhan Semesta Alam haruslah berjalan dengan komando yang tersusun rapi dan teratur, taat dengan segala komando yang dikomandoi oleh Imam. Maka, wajarkah atau sebuah kesalahan kah, jika kita menganggap, bahwa shalat saat ini hanyalah ritual, atau bukan lagi seperti di zaman kekhalifahan yang dibangun para Nabi dan Rasul, semenjak dari Nabi Adam ? Seperti yang diterangkan dalam Al Qur'an sendiri, dengan tegas menyatakan bahwa Nabi-nabi yang diceritakan dalam Al Qur'an adalah muslim atau berideologi Islam, padahal jika kita melihat sejarah, Nabi-nabi selain Nabi Muhammad saw tersebut tidak ada meninggalkan aturan seperti hal nya Nabi Muhammad saw, dalam melakukan ritual shalat saat ini, sebagai bukti atau ukuran kacamata dari umat Islam saat ini bahwa mereka Islam. Dalam hal ini Islam yang dibawa oleh Nabi-nabi sebelumnya, adalah sistem hidup, bukan tentang agama, yang dibawa adalah sistem hidup yang aslama atau berserah diri atau tunduk patuh kepada segala hukum Tuhan Semesta Alam, yang diterangkan baik dalam Kitab Taurat, Kitab Zabur, Kitab Injil, dan Kitab Al Qur'an, karena semua isi dari Kitab-kitab tersebut sumbernya satu, yaitu berasal dari Tuhan Semesta Alam, hanya saja, kisah perjalanan hidup dari setiap Rasul atau utusanNya lah yang membedakan isi dari setiap Kitab tersebut, Kitab-kitab tersebut berisikan sejarah atau perjalanan para Rasul tersebut dalam menjalankan misi menegakkan Khilafah atau Kerajaan Allah seperti hal nya di surga di muka bumi. Maka, sudah barang tentu, isinya berbeda, karena cara mereka berdakwah, berhijrah atau eksodus, maupun berjihad atau berperang, tidak serta merta sama, walaupun mereka membawa misi yang sama, tetap saja, karena aktor-oktor yang berperan, baik di pihak yang sejalan dengan misi Khilafah maupun yang tidak sejalan, memiliki karakter yang belum tentu sama atau berbeda dengan aktor di zaman Nabi sebelumnya, dan kondisi sosial (peradaban) maupun kondisi alam ketika masing-masing Nabi tersebut diutus belum tentu sama, juga wilayah tempat Nabi tersebut diutus juga berbeda, yang sama hanyalah visi dan misinya, selebihnya belum tentu sama, dari sejarah atau kisah para Nabi tersebut, hanyalah sebagai dasar untuk dijadikan pelajaran tentang mengenal Allah atau Tuhan Semesta Alam, agar segala yang dilakukan berhasil, tapi walaupun begitu, keberhasilan adalah buah dari proses, di mata manusia mungkin banyak kesalahan yang pernah dilakukan para Nabi dalam berdakwah, seperti halnya Nabi Abraham as, yang mendoakan bapak nya yang sudah jelas-jelas adalah musuh Allah, namun dari situ, kita menjadi paham bahwa karakter Nabi Abraham (Nabi Ibrahim as) memiliki sifat yang lembut dalam hatinya, bukan pribadi yang keras, dan pendendam, memiliki rasa kasih sayang yang tinggi dalam dirinya, begitu pula kesalahan Nabi Yunus as yang tidak sabar dengan umatnya, sehingga dia terjun ke laut, dan kemudian dimakan oleh ikan, kisah-kisah tersebut mengandung bahasa perumpamaan dan hikmah bagi murid-murid para Nabi atau orang-orang beriman. Semua hal itu bertujuan untuk menjadi pelajaran bagi manusia atau pengingat bagi manusia bahwa Tuhan Semesta Alam tidak pernah lengah terhadap apapun yang diperbuat manusia di dunia.

Maka, tidak bisa menyimpulkan, kesalahan adalah sesuatu yang sia-sia dan alasan untuk takut berbuat karena ketakutan berlebihan berbuat salah, ketika perintah TSA turun kepada para Nabi, tidak berbicara benar atau salah, apabila itu adalah perintah, maka pengikut Nabi Muhammad saw, menjalankan hal tersebut tanpa perdebatan, secara garis besar perintah Tuhan Semesta Alam adalah melaksanakan apapun yang telah ditetapkannya, untuk menguji manusia, dan menilai siapa yang paling bertakwa diantara manusia, jadi segala sesuatu yang dianggap manusia sebuah kesalahan dan masalah, adalah bentuk ujian, atau yang seharusnya Tuhan Semesta Alam perbuata atau kerja Tuhan Semesta Alam untuk menyempurnakan ciptaanNya, agar tercipta manusia-manusia pilihan yang berkarakter seperti halnya dirinya, berkarakter Asmaul Khusna (manusia paripurna).

Namun, apabila berbicara teknis atau cara memimpin, apabila kita meneliti sistem Khilafah di zaman para sahabat Nabi, secara teknis bisa berbeda, ketika masa kekhalifahan Abu Bakar, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib, bisa ada perbedaan di dalamnya dalam menjalankan roda kepemimpinan, karena situasi dan kondisi dari permasalahan yang terjadi, sewajarnya, pasti berbeda, tapi secara rule, mereka tetap menjadikan Al Qur'an atau wahyu atau ajaran Tuhan Semesta Alam yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw sebagai pondasi dasar dalam menentukan arah kebijakan dalam kekhalifahan mereka, maka, bagi kita yang iman dengan kebenaran yang datang dari Tuhan Semesta Alam, tidak sepantasnya cepat menilai apa yang terjadi dengan pemikiran yang sempit atau tidak menyeluruh, karena segala sesuatu berproses atau berjenjang, dikarenakan prinsip ilmu adalah berjenjang, atau bertahap, tidak bisa diturunkan sekaligus, seperti halnya perlu waktu berpuluh-puluh tahun, baru Nabi Muhammad berhasil menyempurnakan akhlak para pengikutnya, proses tersebut yang biasanya manusia tidak paham dan tidak sabar dalam menjalaninya, sehingga cepat mengambil kesimpulan dan memutuskan sesuatu dengan tergesa-gesa, padahal apabila kita sadar bahwa sejatinya, hidup kita diperuntukan untuk Tuhan Semesta Alam, maka sudah seharusnya kita bersabar atau menjadi pribadi yang gigih dan ulet, bukan pasrah dengan segala masalah dan kondisi, dalam menyikapi segala yang terjadi dalam kehidupan kita saat ini.

Dalam pemaparan tersebut, sebenarnya, kita sudah mengetahui dan paham bahwa segala sesuatu berproses, termasuk dalam pendirian Khilafah, yang saat ini belum terwujud dalam kehidupan manusia, dikarenakan syarat-syarat tersebut belum ada, dalam proses mejadikan syarat-syarat tersebut terpenuhi tersebut haruslah memiliki kesabaran, dalam menghadapi segala kondisi, baik kondisi di dalam diri kita maupun diluar diri kita atau lingkungan, yang diterangkan dalam kedua surat dibawah ini tentang kewajiban orang-orang beriman untuk bersabar.

Aali-Imran 3:200

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱصْبِرُوا۟ وَصَابِرُوا۟ وَرَابِطُوا۟ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Wahai orang-orang yang beriman! Bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap-siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.

Al-Insan 76:24

فَٱصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ وَلَا تُطِعْ مِنْهُمْ ءَاثِمًا أَوْ كَفُورًا

Maka bersabarlah untuk (melaksanakan) ketetapan Rabbmu, dan janganlah engkau ikuti orang yang berdosa dan orang yang kafir (orang yang menolak kebenaran) di antara mereka.

Sehingga, dari penjelasan mengenai hal tersebut, maka kita menjadi paham bahwa pendirian atau penegakkan Khilafah, diperlukan proses yang tidak sebentar, dan banyak kesalahan yang mungkin di pandang manusia sebagai kesalahan, atau cara berfikir manusia yang sempit, padahal kesalahan, sejatinya adalah sesuatu bentuk ujian bagi Tuhan Semesta Alam, karena Tuhan Semesta Alam, menciptakan kesalahan atau masalah untuk memilah-milah, manakah dari manusia-manusia yang dia ciptakan termasuk kedalam golongan orang-orang terjaga aktivitas pengabdiannya dalam beribadah kepada Tuhan Semesta Alam (orang-orang bertaqwa)

Selain pembahasan mengenai memerlukan kesabaran dalam pendirian Khilafah, hal yang terkadang kita temui dalam berbicara tentang Khilafah, kita dihadapkan dengan istilah orang-orang kafir, dalam menceritakan Khilafah, orang-orang mengidentikkan dengan kekerasan yang ditujuan terhadap orang-orang kafir, hal yang sensitif memang bagi kita untuk mengusik istilah ini, dikarenakan ada kasus atau kejadian yang menjadikan kita paham kondisi sosial masyarakat Indonesia, yang terlalu sangat antipati terhadap orang-orang diluar Islam, seolah-olah mereka seakan-akan seperti najis atau sesuatu yang dianggap tidak ada nilainya, padahal dalam kemajuan di Indonesia, mereka pun berperan dalam memajukan bangsa dengan segala skill yang mereka punya.

Pada dasarnya, orang-orang kafir bukan hanya diperuntukkan untuk diluar dari yang menganut agama Islam, dari keterangan Al Qur'an menyebut dengan jelas pengertian dari yang termasuk kedalam kategori atau disebut sebagai orang kafir, yaitu, orang-orang yang menolak kebenaran, yang tidak mau berhukum dengan aturan atau hukum Tuhan Semesta Alam, sifatnya adalah sesuatu yang umum, jika dilihat dalam pengertian yang dirujuk dari keterangan dalam Al Qur'an. Mengenai esensi atau pengertian dari hal tersebut, diterangkan pada Al Qur'an surat Al Maidah ayat 44, yang disebutkan dalam surat tersebut bahwa barangsiapa yang tidak memutuskan perkara dengan apa yang diturunkan oleh Allah, Tuhan Semesta Alam, maka mereka itulah orang-orang kafir, begitu pula pengertian dari orang-orang fasik dan orang-orang zhalim, yang diterangkan pada surat yang sama pada ayat 45 dan 47, yaitu, sama-sama tidak memutuskan perkara atau berhukum kepada apa yang diturunkan oleh Tuhan Semesta Alam.

Maka, dalam kondisi sekarang ini, sulit memang berbicara tentang Khilafah, yang diidentikkan dengan kekerasan melawan orang kafir, memang kekhalifahan yang dulunya berdiri ditengah-tengah manusia sudah tidak ada dalam kehidupan manusia dan syarat-syarat dari Khilafah pun belum terpenuhi, tapi hal tersebut adalah ujian bagi manusia, agar Tuhan Semesta Alam mengetahui siapa diantara manusia, yang termasuk kedalam golongan orang-orang yang mampu menjaga dirinya (orang-orang bertaqwa) dari kehendak Iblis atau segala sesuatu yang menjauhkan manusia dari kebenaran, yang menginginkan manusia tersesat dijalanNya, yaitu dengan menjadikan tandingan Hukum Tuhan Semesta Alam sebagai hukum yang berlakukan ditengah-tengah manusia, menggantikan sistem Khilafah yang haq atau benar atau sejatinya ditaati oleh manusia.

Post a Comment

0 Comments